WASPADAILAH alat Komunikasi Dalam Kasus Love Scams !!
individu yang juga mengakibatkan semakin berkurangnya tingkat keakraban dan kepekaan antar personal pada para pelakunya. Komunikasi cenderung lebih banyak berlangsung dan dipersepsi secara verbal, sedangkan isyarat-isyarat nonverbal yang selama ini dipercaya lebih merepresentasikan kejujuran komunikasi semakin ditinggalkan. Bahkan yang kemudian juga terjadi, orang asing yang hanya dikenal melalui internet (jejaring sosial, email, dan sebagainya) begitu mudah dipercaya sehingga tanpa sadar banyak pengguna diperdaya oleh pelaku kejahatan di dunia maya. Pola-pola komunikasi yang dilancarkan oleh pelaku cybercrime ini yang lebih dipercaya oleh para korbannya, dibanding orang dikenal dekat yang berkomunikasi secara langsung. Hal ini kemudian menarik untuk diteliti, bagaimana pola komunikasi yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan (scammers) dan korban pada kasus love scam?Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan pola komunikasi yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan (scammers) dan korban pada kasus lovescam.
Dari tinjauannya Penelitian-penelitian
tentang cybercrime di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi
kebanyakan penelitian
penelitian tersebut lebih menitikberatkan pada tinjauan hukum.
Salah satu diantaranya yang dilakukan oleh Suroso (2007) dengan judul
“Kebijakan Kriminal Cyber Crime terhadap Anak (Tinjauan dalam Prespektif
Hukum dan Pendidikan Moral)”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis cybercrime
apa saja yang berdampak negatif terhadap pendidikan
moral anak dan bagaimana kebijakan kriminal saat ini
dan yang akan datang terhadap cybercrime yang berdampak negatif terhadap
pendidikan moral anak. Martini Puji Astuti (2013) juga
pernah melakukan penelitian dengan judul “Penentuan Tempus Dan Locus Delicti
Dalam Kejahatan Cyber Crime (Studi Kasus Di Reskrimsus Polda
Jateng)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penentuan tempus
dan locus delicti dalam cybercrime, dan untuk mengetahui dan
menganalisis pengaturan kewenangan pengadilan yang berhak untuk mengadili
kejahatan cybercrime. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa aparat penengak hukum dalam penentuan tempus dan locus delicti
cybercrime menggunakan empat teori pidana yaitu teori perbuatan materiil,
teori perbuatan akibat, dan teori perbuatan instrument, dan pengaturan
kewenangan dalam mengadili kejahatan cybercrime diatur dalam Pasal 84,
85, dan 86 KUHAP. Penelitian lain dilakukan
oleh Rege (2009) dengan judul “ What’s Love Got to Do with It? Exploring
Online Dating Scams and Identity Fraud”. Penelitian ini menggambarkan bahwa
jaringan e-love (e-cinta) telah menjamur sejak pertengahan 1990-an dan
dapat untuk menghasilkan $ 1.900.000.000 pada 2012. Namun, industri global
ini sukses menempatkan kejahatan cyber, yang menimbulkan masalah serius untuk layanan perjodohan dan daters di
seluruh dunia. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa ada tiga dimensi yaitu
teknologi, dunia maya, dan langkah-langkah melawan yang kolektif mempengaruhi
organisasi kriminal dan operasi di dunia maya.
Artikel ini dikutip oleh Akmal ( Mahasiswa
Universitas Sains dan Teknologi Komputer Ungaran), Dari referensi; https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/jppki/article/download/592/374
Komentar
Posting Komentar